ROKOK PENYUMBANG TERBESAR KERUGIAN NEGARA..!!!
Lho ? Kok bisa ? Bukankah rokok penyumbang devisa negara terbesar ?
Selama ini rokok dibilang sebagai penyumbang devisa terbesar untuk
negara padahal nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar
negara. Kerugian yang ditimbulkan rokok bukan hanya masalah kesehatan
saja tapi juga masalah moral dan finansial.
Menurut data Depkes
tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah
Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan
dan kematian akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai
tembakau adalah Rp 16,5 triliun.
“Artinya biaya pengeluaran
untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih besar 7,5 kali
lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya kita
ini sudah dibodohi, sudah tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan
dikerjakan. Inilah cara berpikir orang-orang tertentu yang bodoh,” tutur
kata Prof Farid A Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau
dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan
Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010).
Prof Farid
mengatakan, rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan
moral dan lost generation. “Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena
HIV, atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu,” kata Prof
Farid yang juga mantan menteri kesehatan ini.
“Menurut agama
saja menghisap rokok adalah kegiatan yang mubazir atau makruh. Memang
dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak yang
dirugikan akibat rokok,” tambahnya.
Dalam UU Kesehatan No.36
Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya
dengan alkohol dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan
sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok
juga harusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara
spesial,” ujarnya.
Kenaikan cukai tembakau rokok sebesar 15
persen menurut Prof Farid dianggap tidak akan berpengaruh.Pertama,
karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun
juga orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi
kebutuhannya.Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi
kenaikan harga rokok tidak akan terlalu mengurangi konsumsi
rokok.Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini
memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.
Untuk itu
solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP) khusus
yang mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU yang
mengatur tentang rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU Penyiaran
No 33/1999, UU Perlindungan Anak No 23/2002, UU Psikotropika No 5/1997
dan UU Cukai No 39/2007.
“Di situ ada aturannya nikotin harus
dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendiri-sendiri maka
tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi UU,”
katanya.
Peningkatan cukai rokok juga menurut Prof Farid harus
didistribusikan pada kegiatan-kegiatan untuk menangani sektor kesehatan.
“Perokoklah yang membayar cukai tembakau sehingga sudah semestinya dana
cukai dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Sumber : detikcom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar